DIMENSI KEHIDUPAN

Selayang Pandang:  
Assalamu'alaikum Wr.Wb Ya Akhi Wa Ukhti :)

Ahlan wa sahlan di Dimensi Kehidupan.

Hadirnya Dimensi Kehidupan sebagai pengingat dalam kehidupan,

agar kita selalu Istiqamah dan mengingatNya dalam kehidupan ini.

Dimana kehidupan yang luas, mungkin diantara kita pernah

melakukan berbagai hal yang salah di kehidupan ini.

Dimen berharap dengan sedikit pengambaran yang ada dalam konten blog dimen ini

membuat kehidupan kita lebih bermakna dan lebih mempunyai arti serta mawas diri di kehidupan ini.

Syukron atas kunjungannya. Barakallah wa Jazakumullahu Khairan Ya Akhi Wa Ukhti.

Wassalamu'alaikum Wr.Wb





















ARTIKEL DIMENSI KEHIDUPAN

gravatar

Haji yang Mabrur

Rasulallah Saw bersabda: “Haji yang mabrur tidak mempunyai balasan, melainkan surga” [Muttafaqun’Alaih]

Ibadah Haji senantiasa dikaitkan dengan kata-kata “mabrur”. Sering kita dengar orang atau mungkin kita sendiri pernah mengucapkan: “Selamat menunaikan ibadah haji. Semoga selamat sejak mulai berangkat, selama berada di tanah suci, hingga tiba kembali lagi ke tanah air, dan semoga menjadi haji yang mabrur”. Ucapan tersebut sudah sangat populer dan sudah membudaya, dan terasa kurang familiar rasanya kalau tidak diucapkan kepada sanak-keluarga, teman atau tetangga kita yang akan berhaji menunaikan rukun Islam kelima tersebut ke tanah suci, tanpa disadari sudah menjadi sebuah do’a yang standar.

Tidak satu pun referensi yang membahas secara khusus hingga tuntas masalah haji mabrur. Ada referensi yang hanya menyebut, haji mabrur adalah: ”Haji yang bersih dari semua dosa dan penuh dengan kebaikan.” Sementara Prof. Dr. M. Quraish Shihab dalam bukunya: "M.Quraish Shihab menjawab 1001 Soal Keislaman yang Patut Anda Ketahui” pada halaman 223 menjawab pertanyaan tentang haji mabrur, menjelaskan: “Dari segi bahasa, kata mabrur terambil dari akar kata barra, yang mempunyai banyak makna, antara lain: ‘surga, benar, diterima, pemberian, keleluasaan dalam kebajikan’ Para ulama banyak pula yang berbeda pendapat tentang pengertiannya. Asy-Syawkani mengemukakan pendapat Ibnu Khalawayah, bahwa: “Haji yang mabrur adalah yang diterima Allah (maqbul)”. Ulama lain berpendapat bahwa: “Haji yang mabrur adalah haji yang tidak dinodai oleh dosa”. Al-Qurthubi menyimpulkan, bahwa: “Pendapat-pendapat tentang haji yang mabrur saling berdekatan makna". Kesimpulannya, haji yang mabrur adalah haji yang sempurna hukum-hukumnya sehingga terlkasana secara sempurna sebagaimana yang dituntut.

Kalau kesimpulan tersebut diterima, maka harus diingat bahwa dibalik hukum-hukum itu ada makna yang dalam yang harus dihayati oleh seorang haji (orang yang akan berhaji dan sudah menjadi haji-pen). Sebab, seperti yang ditulis oleh Prof.’Abdul Halim Mahmud (mantan pimpinan tertinggi Universitas Al-Azhar, Kairo) bahwa: “Haji merupakan kumpulan yang sangat indah dari simbol-simbol keruhanian, yang mengantarkan seorang Muslim – bila dilaksanakan dalam bentuk dan caranya yang benar – masuk dalam lingkungan Illahi, dan ketika itu pastilah seluruh aktivitasnya sejalan dengan apa yang dikehendaki oleh Allah sehingga haji mabrur, yakni benar, diterima, dan dia tidak segan memberi (ilmu, pikiran, nasihat, tenaga, kebaikan, bahkan termasuk menyingkirkan ranting yang ada di jalan, minimal ia tidak menyinggung perasaan atau menyusahkan orang lain) dan akhirnya ia memperoleh surga”. Ibadah haji tidak berbeda dengan ibadah-ibadah lainnya seperti shalat, puasa, zakat/shadaqoh, dsb, yang bila dikerjakan dengan niat lillahi ta’ala dan sesuai dengan rukun-rukunnya pastilah imbalannya surga. Karena Allah swt telah menyiapkan delapan pintu surga bagi ahli ibadah. Diantaranya Babir-Shadaqoh pintu surga untuk ahli puasa, Babis-Sholeh pintu surga untuk ahli sholat, Babis-Shadaqoh pintu surga untuk ahli shadaqoh, Babil Al-Jihad pintu surga untuk mujahid, dst, termasuk Babil Jannah pintu surga bagi haji yang mabrur.

Atas dasar penjelasan-penjelasan diatas, kini marilah kita kaji dengan bahasa kita sendiri agar mudah dimengerti, dipahami, dan kita lihat dalam kehidupan kita sehari-sehari untuk mencari bentuk apa yang dimaksud dengan haji mabrur.

1. Niat berhaji. Umar Ra meriwayatkan, bahwa Rasulullah Saw bersabda : ”Sungguh semua amal perbuatan hanya bergantung kepada niat masing-masing. Dan setiap orang hanya memperoleh apa yang diniatkannya”. [H.R Lima Ahli Hadits]. Berniatlah dengan hati yang bersih bahwa kepergian kita menunaikan ibadah haji ke tanah suci Makkah adalah semata-mata untuk beribadah memenuhi panggilan Allah SWT. Jangan sampai terlintas atau ada motivasi lain misalnya karena kakak, adik, saudara, teman atau tetangga kita sudah banyak yang berhaji, atau membayangkan betapa gagahnya kalau berjamaah di masjid mengenakan songkok putih atau alangkah bangganya nanti bila dipanggil haji ?

2. Sanggup atau berkemapuan.”Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah yaitu (bagi) yang sanggup (mampu) mengadakan perjalanan perjalanan ke Baitullah” (Q.S. Ali-Imran : 97).

a. Mampu fisik. Ibadah haji adalah ibadah fisik, mulai pergi harus menempuh perjalanan jauh (9-10) jam penerbangan menuju Jeddah atau Madinah), kemudian setelah di Madinnah akan berjalan dari maktab ke Masjidil Haram (melaksanakan umroh, beribadah, berzikir dan berdo’a sambil menunggu waktu wukuf), dari Makkah menuju ke Arafah, dari Arafah ke Muzdalifah, dari Muzdalifah ke Mina, dari Mina ke Makkah, dari Makkah ke Jeddah, dan selanjutnya kembali ke tanah air selama kurang-lebih 40 hari. Semuanya diatur dengan ketat, semua rukun haji (Ihram, thawaf, sa’i, dan wukuf di Arafah) dan wajib haji harus dikerjakan sesuai tuntunan agama (manasik) berikut sunnah-sunnahnya. Bagi yang kesehatannya yang sudah rentan, sangat dikhawatirkan tidak dapat melaksanakan rukun-rukun haji dengan sempurna bahkan mungkin tidak melaksanakannya sama sekali, dan akibatnya hajinya tidak sah.

b. Mampu Materi. Memiliki perbekalan yang cukup, yakni perbekalan selama dalam perjalanan, perbekalan untuk keluarga (anak-anak) yang ditinggalkan, perbekalan setelah kembali ke rumah. Agama tidak mebenarkan bila harus memaksakan diri diluar kemampuan dalam beribadah, misalnya pulang dari berhaji tidak memiliki tempat tinggal lagi karena dijual untuk biaya haji, tidak dapat mencari nafkah lagi untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari karena toko atau sawah sebagai sumber nafkah sudah pindah tangan. Selain daripada itu, bila sholat wajib bersih badan, pakaian dan tempat (bersih secara fisik dan bersih pula cara memperolehnya), maka dalam ibadah haji pun dituntut pula agar biaya yang dipergunakan didapat dengan cara yang halal dan tidak berhutang.

3. Melaksanakan semua rukun haji. Seperti halnya Ibadah sholat, ibadah puasa, ibadah haji juga mempunyai rukun yang membatasinya. Apabila ada salah satu rukunya tidak dilaksanakan maka ibadah tersebut tidak sah, dan apabila diantara rukun-rukun tersebut tidak sempurna maka ibadah itu pun rusak (tertolak).

a. Memakai Ihram dari miqat. Selama memakai Ihram dilarang: menutup kepala bagi (bagi laki-laki), menutup muka (bagi perempuan), memotong/mencabut rambut/bulu-bulu, berkata tidak sopan, bersetubuh atau berbuat/berkata cabul, berbantah-bantahan, iri, dengki, dan sombong.

b. Thawaf mengelilingi Ka’bah tujuh kali. Yaitu thawaf qudum (ketika baru tiba di Makkah), thawaf Ifadhah (yang menjadi rukun haji), thawaf wada’ (ketika akan meninggalkan Makkah pulang ke tanah air). Thawaf dimulai dan berakhir dari sudut Hajar Aswad, dengan posisi Baitullah selalu disebelah kiri. Thawaf diawali dengan niat, dan selama thawaf haruslah suci badan dan pakaian dari hadas, tertutup aurat, tidak berkata-kata (kecuali terpaksa), tidak menyakiti orang lain dengan perbuatan dan perkataan, khusuk, banyak berzikir, dan berdo’a. Bila hal-hal tersebut dilanggar maka thawafnya batal dan diulang. Disamping thawaf tersebut (serangkaian dengan ibadah haji), ada pula thawaf sunnah, yakni thawaf yang dilakukan setiap masuk ke dalam Masjidil Haram sebagai pengganti shalat tahiyatul masjid.

c. Sa’i, dilakukan setelah melaksanakan thawaf qudum atau thawab ifadhah, berjalan dan jalan cepat (berlari-lari kecil diantara dua lampu hijau) dari bukti Shafa ke bukit Marwa sebanyak tujuh kali, berzikir dan berdo’a selama melakukan Sa’i. Etika pada saat Sa’i sama halnya dengan pada saat thawaf, dan bila dilanggar maka Sa’inya batasi dan harus diulang.

d. Wukuf di Arafah, adalah rukun haji keempat. Sabda Rasulullah Saw: “Haji adalah Aradah” [H.R.At-Thirmidzi dan Ahmad]. Tidak sah haji bila tidak wukuf, tidak terkecuali orang yang sakit, termasuk wanita yang sedang haid atau nifas. Orang yang mabuk, pingsan, ayan atau gila wukufnya tidak sah. Pada saat wukuf, masih mengenakan pakaian Ihram, karenanya hal-hal yang harus dihindari selama berihram tetap dipatuhi.

4. Melaksanakan Wajib Haji.

a. Mabbit (bermalam) di Muzdalifah. Selama berada semalaman di Muzdalifah jamaah masih dalam keadaan berihram, ketentuan selama memakai Ihram harus dipatuhi. Setelah memungut batu krikil untuk melontar jumroh, perbanyak zikir dan do’a.

b. Pergi ke Mina untuk melontar jumroh, Aqobah pada hari pertama (tanggal 10 Zulhijah) dan membuka Ihram. Menginap di Mina pada malam-malam hari tasyriq (11, 12, 13 Zulhijah) untuk melanjutkan melontar jumroh Aqobah, Wustha, dan Ula. Bagi yang uzur boleh mewakilkan dengan syarat harus membayar dam (denda).

c. Menyembelih kurban (dam/denda), bagi yang berhaji Tamattu’ dan haji Qiran, dan terhadap jamaah yang tidak melaksanakan (mewakilkan) wajib haji karena uzur.

d. Tahlul, memotong (memendekkan) atau mencukur rambut setelah melakukan thawaf dan sa’i.

Antara rukun haji dan wajib haji sebagaimana diuraikan di atas, diantara empat madzah (Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali) ada perbedaan dalam menetapkan mana yang masuk rukun dan mana yang wajib. Hal ini tidak perlu dipermasalahkan, karena bagi orang-orang yang benar-benar berhaji semata-mata mengharap ridha Allah, ia akan sungguh-sungguh mengerjakan semuanya sesuai dengan apa yang dimanasikkan, tanpa menganggap enteng salah-satu pun yang dilakukan dalam semua rangkaian prosesi haji, baik yang dikatakan rukun atau wajib haji.

Saudara-saudaraku kaum muslimah dan muslimat yang dimuliakan oleh Allah Swt. Bila merujuk pendapat para ulama tentang haji yang mabrur sebagaimana yang diuraikan pada awal tulisan ini, maka nilai haji yang mabrur sungguh berat. Karena haji mabrur adalah totalitas mulai dari niat berhaji, halalnya biaya haji, terlaksananya semua rukun dan wajib haji, sehingga menghasilkan insan atau pribadi yang senantiasa bersih hati, badan, dan pakaian, sabar, tidak sombong (riak dan takabur), taat beribadah dan beramal shalih, cinta lingkungan (hewan/tumbuh-tumbuhan tidak dibinasakan atau dirusak), tidak ghibah, tidak menyakiti/mendzalimi orang lain, tidak berbantah-bantahan, tidak berolok-olok, ikhlas membantu dan bershadaqoh, dll, yang dilaksanakan secara ikhlas selama berhaji. Kemudian, setelah selesai berhaji dan songkok putih sudah menghiasi kepala, maka apa-apa yang sudah diamalkan selama di tanah suci harus diaplikasikan pula dalam kehidupan sehari-hari setelah berada di negeri sendiri.

Kini kita renungkan, apakah ada perubahan diri kita yang signifikan antara sebelum berangkat haji dengan sesudah berhaji ? Apakah akan memperoleh surga sebagai imbalan haji yang mabrur ? Jika memang merasa demikian, jangan langsung berpuas diri, riak dan sombong, karena seseorang masuk ke surga atau neraka, semata-mata wewenang Allah Swt. Sebab Dialah Pemilik dan Penguasa Tunggal alam semesta ini beserta isinya. Adalah hak preogratif Allah sepenuhnya seandainya Ia berkehendak menguji orang-orang yang taat beribadah dan sudah berhaji masuk ke dalam neraka, atau sebaliknya, memberikan nikmat-nikmat dan memasukkan orang-orang yang belum beribadah dengan taat dan belum pula berhaji ke dalam surga, tanpa ada yang dapat menghalanginya. Rasulallah Saw bersabda: “Bukan amal seseorang yang memasukkannya ke surga dan melepaskannya dari neraka, termasuk aku juga. Namun semata-mata berkat nikmat (ridho) Allah Swt”. [H.R.Muslim]. Sungguh Allah Swt Maha adil dan Maha berkehendak.

(Copyright by HAY/HAR/SYAM/10/2011)

Sumber bacaan: Pedoman Menjadi Haji yang Mabrur (Syekh Hasan Ayyub); Mahajul Muslim (Abu Bakar Jabir Al-Jazairi); M.Quraish Sihab: Menjawab 1001 Soal Keislaman yang Patut Anda Ketahui”,Buku Pintar Hadits (Syamsul Rijal Hamid).

Diterbitkan oleh: Buletin dakwah Muamalah, BPM Al-Aqobah II Komp.Pusri Sako Palembang – Jum’at, 01 Dzulhijjah 1432 H/28 Oktober 2011


Entri Populer