DIMENSI KEHIDUPAN

Selayang Pandang:  
Assalamu'alaikum Wr.Wb Ya Akhi Wa Ukhti :)

Ahlan wa sahlan di Dimensi Kehidupan.

Hadirnya Dimensi Kehidupan sebagai pengingat dalam kehidupan,

agar kita selalu Istiqamah dan mengingatNya dalam kehidupan ini.

Dimana kehidupan yang luas, mungkin diantara kita pernah

melakukan berbagai hal yang salah di kehidupan ini.

Dimen berharap dengan sedikit pengambaran yang ada dalam konten blog dimen ini

membuat kehidupan kita lebih bermakna dan lebih mempunyai arti serta mawas diri di kehidupan ini.

Syukron atas kunjungannya. Barakallah wa Jazakumullahu Khairan Ya Akhi Wa Ukhti.

Wassalamu'alaikum Wr.Wb





















ARTIKEL DIMENSI KEHIDUPAN

gravatar

Berlapang Dada Dalam Amar Ma’ruf Nahi Munkar

“Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang Ma’ruf, mencegah dari yang munkar, dari beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, diantara mereka ada yang beriman dan kebanyakan mereka adalah orang-rang yang fasik” (OS. Ali Imran[3]:110)..

Definisi klasik yang diberikan para musafir mengatakan bahwa yang makruf adalah “Apa yang diperintahkan agama (al-syar’i) dan dinilai baik oleh akal sehat”. Kemudian yang mungkar adalah “Apa yang dilarang agama dan dinilai buruk oleh akal sehat.” Definisi singkat ini cukup komprehensif untuk menjelaskan muatan doktrin itu. Perintah dan larangan agama pada esensinya hanya punya satu tujuan: agar manusia secara perseorangan dan kolektif tetap berada di atas jalan lurus dan dalam bingkai moral yang jelas.

            Bingkai moral yang kelabu dan remang-remang akan menempatkan manusia pada posisi yang rancu antara yang makruf dan yang mungkar, antara yag baik dan yang buruk. Dalam ungkapan lain, secara moral, posisi rancu itu sangat berbahaya karena akan mengacaukan pesepsi itu menjadi kacau dan menguasai arus pemikiran oarng banyak, akibat destruktifnya pasti akan dirasakan masyarakat, cepat atau lambat. Masyarakat akan meraba-raba dalam kebingungan dan kegalauan system nilai, apakah hal itu menyangkut masalah agama, politik, social, ekonomi, hukum, ilmu pengetahuan dan teknologi, serta budaya. Dalam kandungan definisi itu terlihat oleh kita bahwa agama dan akal sehat ditempatkan dalam satu nafas, saling mengisi, dan tidak dipertentangkan. Islam memang mengajarkan konsep utuh tentang kebaikan dan utuh pula tentang keburukan. Yang baik menurut agama sebenarnya baik juga menurut akal sehat. Begitu pula sebaliknya.

            Eksistensi umat Islam, bermakna atau tanpa makna, akan sangat bergantung pada kemampuan atau ketidak mampuan mereka melaksanakan doktrin amar makruf nahi mungkar ini. Ini tugas yang menantang sepanjang zaman. Doktrin dalam bentuk pasangan gandengan ini dijumpai dalam delapan ayat Al-Quran, terbesar dalam surah
Al-A’raf ayat 157 yang menjelaskan bahwa di antara tugas nabi itu adalah melaksanakan kewajiban amar makruf nahi mungkar. Firman Allah SWT :
“(Yaitu) orang-rang yang mengikut Rasul, nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepada-Nya memuliakan-Nya, menolong-Nya dan mengikuti cahaya yg terang kepada-Nya (Al-Quran), mereka itulah orang-orang yang beruntung.“ (QS. Al-Al-Qur’an’raf 157)

            Apabila semua funsi itu terlaksana, eksistensi, umat itu menjadi bermakna. Mereka dimasukkan dalam kategori umat yang menang. Bahkan, dalam Surat Ali-Imran ayat 110 lebih menegaskan bahwa apabila tugas sejarah itu dilakukan, umat itu diberi julukan sebagai umat yang terbaik (Khaira Ummah). Akan tetapi, secara mafhum mukhalafah (pemahaman yang dibalik), artinya apabila fungsi itu macet, untuk tidak mengatakan syarru ummah (umat terburuk).

            Apabila definisi umum tentang amar makruf  nahi mungkar kita tempatkan pada perspektif sejarah masa awal, yaitu masa nabi, berdasarkan bukti-bukti Al-Quran dan sejarah, kita akan mendapatkan gambaran sebagai berikut. Pada periode Makkah, nilai-nilai yang Makruf diajarkan wahyu melalui nabi berhadapan secara diametrical dengan nilai-nilai kemungkaran sebagai bagian dari budaya politik dan ekonomi Quraisy yang angkuh dan eksploitatif. Surat-surat pendek Makkiyah, khususnya banyak berbicara tentang fenomena social yang serba timpang dan mencekam.

            Ada tiga persoalan besar yang saling terkait yang dihadapi nabi pada saat permulaan misinya di kota komersial Makkah yang sangat membebani persaannya. Saking beratnya situasi, hingga Al-Quran dalam surah Al-Isyirah ayat 1-3 memberi gambaran sebagai berikut: “Bukankah kami telah melapangkan bagimu dadamu..?
Dan kami telah mengangkat bebanmu daripadamu. Yang memberatkan punggungmu.”
(QS. Al-Insyirah 1-3)

            Tiga persoalan yang berat itu adalah pertama, doktrin keesaan Allah (tauhid) berhadapan dengan lingkungan syirik kota Makkah. Kedua, prinsip keadilan sosial-ekonomi-politik aristrokrasi Quraisy yang begitu dominan. Ketiga, doktrin eskatologis berupa iman pada hari akhir berhadapan dengan kepercayaan umum penduduk Makkah yang menyangkalnya, terutama kelompok elitnya. Jadi, tauhid, keadilan, iman pada hari akhir adalah bagian dari makruf, sedangkan syirik, kezaliman, dan penyangkalan terhadap hari akhir adalah bagian dari yang mungkar.
           
            Selama 13 tahun pertama, kutub ma’rufat hanya didukung oleh golongan minoritas, tapi tangguh. Sementara kutub munkaraf punya pengikut mayoritas, tapi pada ujungnya di akhir periode Madinah menjadi rapuh dan roboh, ibarat sarang laba-laba. Kemenangan nabi tidaklah turun begitu saja dari langit. Kerja keras dan doa disertai penyusunan strategi yang jitu menjadi prasyarat suatu keberhasilan. Nbai sama sekali tidak mengandalkan namanya yang berjejeran dengan nama Allah dalam syahadatain sebagi kunci untuk kemenangan. Karena, beliau dan para pengikutnya pun pernah menderita kekalahan dalam Perang Uhud. Nabi berjuang dalam darah dan daging sejarah, semuanya transparan, semuanya berlangsung dalam rahim ruang dan waktu. Jika ada yang istimewa, itu karena nabi dan para pengikutnya berjuang untuk memenangkan nilai-nilai ma’rufat atas nilai-nilai munkarat demi meratakan rahmat Allah di muka bumi dan perjuangan itu berhasil dengan sangat gemilang.

            Baik bukti Al-Quran maupun pengalaman sejarah umat periode awal di bawah pimpinan nabi dan Al-Khulafa Al-Rasyidin, bahwa Islam memang bertujuan membebaskan dan mencerahkan. Sebab, hanya manusia yang bebas dan cerah yang dapat meraih posisi sebagai Mukmin dan Muslim sejati.
           
            Ungkapan insane kamil dalam tasawuf atau mard-e mo’min dalam bahsa Persia secara spiritual mengacu pada kutub pembebasan dan pencerahan ini. Untuk penyerahan diri secara total kepada Allah, sementara pikiran hanyalah menempati posisi sekunder dalam doktrin mereka.

            Memang, apabila proses pencerahan hati ini dilakukan secara teratur melalui ibadah yang tekun dan saleh, seorang pencari mungkin saja meraih posisi spiritual yang tinggi. Alquran memberi tahu kita bahwa pencerahan hati melalui zikir belum cukup melahirkan sosok ulu al-albab, sebuah posisi mulia, posisi orang yang dikaruniai kearifan (al-hikmah) seperti terbaca dalam makna Surah Al-Baqarah ayat 269 : Allah mengaruniakan al-hikmah, itu telah dikaruniai kebajikan yang melimpah yang benar-benar sadar tentang itu hanyalah kelompok ulu al-albab”. [QS. Al-Baqarah 269]

            Pada periode awal, Islam berdasarkan fakta sejarah telah menyumbangkan karya besar berupa dakwah untuk pembebasan dan pencerahan terhadap otak, hati, dan jantung manusia. Buah dari dakwah itu telah masuk ke dalam darah dan daging sejarah. Utang budi dunia terhadap dakwah itu sungguh luar biasa. Muslim dan non-Muslim mengakui kenyataan ini. Peradaban modern yang sekuler-atesitis tampaknya telah hamper kehabisan napas untuk menawarkan sesuatu yang kukuh, abadi, anggun, dan asri untuk masa depan umat manusia. Bisakah Islam mengambil alih..?

            Setiap manusia mempunyai potensi untuk berbuat salah. Hal ini disebabkan karena pada setiap diri manusia terdapat nafsu yang merangsang untuk berbuat salah. Atas kesadaran inilah, kita harus saling mengingatkan. Kita akan menjadi umat terbaik jika saling mengingatkan, apa yang salah jangan dilakukan dan apa yang baik harus dikerjakan. Amar ma’ruf dan nahi mungkar ini hendaknya kita lakukan dengan berlapang dada dan pikiran yang jernih, bukan dengan cara-cara emosional dan aksi-aksi kekerasan.

Wallahua’lam Bish-Showab..

Sumber : Buletin Islam
Forum Kajian Islam Karyawan Pusri (Fokais PUSRI) Di bawah binaan BPM Al-Aqobah 1.


Entri Populer