DIMENSI KEHIDUPAN

Selayang Pandang:  
Assalamu'alaikum Wr.Wb Ya Akhi Wa Ukhti :)

Ahlan wa sahlan di Dimensi Kehidupan.

Hadirnya Dimensi Kehidupan sebagai pengingat dalam kehidupan,

agar kita selalu Istiqamah dan mengingatNya dalam kehidupan ini.

Dimana kehidupan yang luas, mungkin diantara kita pernah

melakukan berbagai hal yang salah di kehidupan ini.

Dimen berharap dengan sedikit pengambaran yang ada dalam konten blog dimen ini

membuat kehidupan kita lebih bermakna dan lebih mempunyai arti serta mawas diri di kehidupan ini.

Syukron atas kunjungannya. Barakallah wa Jazakumullahu Khairan Ya Akhi Wa Ukhti.

Wassalamu'alaikum Wr.Wb





















ARTIKEL DIMENSI KEHIDUPAN

gravatar

Beberapa Hal Tentang Shalat

SHALAT mempunyai beberapa syarat, jika tidak dipenuhi maka shalat itu tidak sah, kecuali karena ada sesuatu halangan syar’i. Syarat-syarat sahnya shalat tersebut adalah sebagai berikut;

1. MENGETAHUI MASUKNYA WAKTU. Dalam hal ini cukup berdasarkan dengan dugaan kuat, karena itu, jika seseorang telah yakin atau berat sangka, bahwa waktu shalat telah masuk atau diperolehnya dari pemberitahuan orang jujur, seruan adzan dari muadzin yang dapat dipercaya atau hasil ijtihad (usaha pribadi). Demikian itu berdasarkan firman Allah SWT, “Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” [Q.S An-Nisa’(4):103].

“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat)” [Q.S Al-Isra’(17):78].

Namun demikian, ada hal-hal yang dikecualikan syar’i (Allah dan Rasul), yaitu sah mengerjakan shalat sebelum waktunya disebabkan sesuatu yang membolehkan kita menjama’ shalat (menggabungkan shalat Dzuhur dengan Ashar dan Maghrib dengan Isya’).

2. SUCI DARI HADAS KECIL DAN BESAR. Berdasarkan firman Allah: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapuhlah  kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, jika kamu junub maka mandilah.” [Q.S Al-Ma’idah (5):6].

Dan berdasarkan hadits Abdullah bin Umar ra, Nabi Muhammad SAW bersabda:
“Allah tidak akan menerima shalat tanpa bersuci, dan tidak pula menerima sedekah dari harta rampasan perang yang belum dibagikan.” [Hadits Jama’ah kecuali Bukhari].

Dari Abu Hurairah ra, ia berkata: “Rasulullah SAW bersabda, ‘Allah tidak akan menerima shalat saleh seorang diantara kamu jika ia berhadas sampai ia berwudhu.” [HR. Abu Dawud dan Tirmidzi].

3. SUCI PAKAIAN, BADAN DAN TEMPAT SHALAT. Berdasarkan firman Allah SWT, “Dan pakaianmu bersikanlah.”[Q.S Al-Muddasir (74):4].

Berdasarkan hadits dari Jabir bin Samurah: “Saya mendengar seorang laki-laki bertanya kepada Nabi, ‘Bolehkah saya shalat dengan memakai pakaian yang saya pakai ketika bersenggama ?’ Nabi menjawab, ‘Boleh, kecuali jika engkau lihat sesuatu kotoran padanya, maka hendaklah kau cuci.” [HR. Ahmad dan Ibnu Majjah].

Mengenai suci badan, berdasarkan hadits Anas ra, bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda: “Bersucilah kamu dari air kencing, karena pada umumnya siksa kubur disebabkan oleh itu.” [HR. Daruquthni].

Berdasarkan hadits dari Abu Hurairah ra, katanya: “Seseorang badui bangkit berdiri lalu kencing di masjid, orang-orang pun serempak berdiri hendak memukulnya, maka Nabi Muhammad SAW bersabda, ‘Biarkanlah ia, lalu tuangkanlah pada kencingnya itu setimba atau seember air, karena kalian diutus untuk memberi kemuadahan dan bukan untuk menimbulkan kesukaran.” [Hadits Jama’ah kecuali Muslim].

4. MENUTUP AURAT. Batas aurat laki-laki, ialah bagian tubuh yang terletak diantara pusar dengan lutut. Hal ini berdasarkan Firman Allah SWT, “Hai anak Adam, pakailah hiasanmu yang indah disetiap memasuki Masjid.” [Q.S Al-A’Raf(7):31].

Hadits dari Muhammad bin Yahsti, katanya: “Rasulullah SAW lewat pada Ma’mar yang kedua pahanya tersingkap, maka sabdanya, ‘Tutuplah kedua pahamu, karena paha itu aurat.” [HR. Ahmad, Hakim dan Bukhari].

Adapun batas aurat wanita ialah seluruh tubuhnya, kecuali muka. Madzhab Sayafi’i dan Hanafi menambhakan kedua telapak tangan. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT, “Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.” [QS. An-Nur (24):31].

Dari Aisyah ra, Nabi Muhammad SAW bersabda, “Allah tidak menerima shalat perempuan baligh kecuali dengan memakai kerudung.” [Hadits Khamsah (Imam Lima)kecuali Nasa’i].

Dari Ummu Salmah, bahwa ia bertanya kepada Rasulullah SAW, “Bolehkah wanita melakukan shalat dengan memakai baju kurung dan kerudung, tanpa memakai kain?” Jawab beliau, “Boleh asal saja baju itu besar hingga menutupi punggung kedua telapak kakinya.” [HR. Abu Dawud, dan para Imam Empat (Syagi’i, Hanbali, Hanafi, dan Maliki) mengesahkannya sebagai mauquf].

Pakaian yang dipakai menutup aurat itu disyaratkan harus tebal (agar tidak terbayang warna kulit dibaliknya) dan tidak apa-apa shalat dengan pakaian yang sempit.

Orang yang shalat telanjang, menurut Ulama Hanafi dan Hanbali, yang lebih utama ialah mengerjakannya dengan duduk dan memberi isyarat untuk rukuk dan sujudnya, serta merapatkan pahanya. Ulama Hanafi menambahkan, agar kakinya dijulurkan ke arah kiblat dan menutupinya erat-erat.

5. MENGHADAP KIBLAT. Berdasarkan firman Allah SWT,”Dari mana saja kamu keluar (datang) maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram.” [Q.S Al-Baqarah (2):149]. Berdasarkan sabda Rasulullah SAW, “Jika hendak mengerjakan shalat, sempurnakanlah wudhu, lalu menghadaplah ke arah kiblat dan kemudian bertakbirlah.”[HR.Muslim].

Yang menguggurkan kewajiban menghadap kiblat yaitu:

Pertama, shalat sunnah di atas kendaraan. Dari Amir bin Rabi’ah katanya: “Saya lihat Rasulullah SAW shalat di atas kendaraannya menuruti arah kendaraannya itu.” [HR. Bukhari dan Muslim], Mengenai hal ini kemudian turunlah ayat, “Maka kemana pun kamu menghadap disitulah wajah Allah.” [Q.S Al-Baqarah (2):115].

Kedua, Shalat orang yang terpaksa, seperti orang yang terikat pada tiang atau lainnya, maka gugurlah kewajibannya menghadap kiblat.

Ketiga. Shalat orang yang sedang sakit yang tidak mampu menghadap kiblat.

 Shalat Khauf (ketakutan) takut terhadap keselamatan jiwa atau hartanya, dari ancaman manusia atau lainnya. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT: “Jika kamu dalam keadaan takut (bahaya) maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan.” [Q.S Al-Baqarah (2):239]. Ibnu Umar menafsirkan, “Baik dengan menghadap kiblat atau tidak menghadapnya.” [HR.Bukhari].
Juga firman-Nya, “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (Q.S Al-Baqarah (2):286].
Dalam keadaan seperti itu, Ia boleh dan sah shalat tanpa mengahdap kiblat, serta tidak wajib mengulangnya.

6. NIAT. Menurut golongan Hanafi dan Hanbali, niat adalah syarat, sedangkan menurut golongan Maliki dan Syafi’i niat adalah rukun. Beda antara syarat dengan rukun ialah, bahwa syarat boleh dilakukan sebelum amal, sehingga seandainya seseorang keluar dari rumah atau dari tokonya sambil niat hendak shalat dan antara niat dengan shalatnya itu tidak terselang oleh jarak lama atau pekerjaan lain, maka sahlah shalatnya itu.

Sedangkan rukun adalah bagian dari amal itu sendiri, ia tidak boleh dilakukan sebelum amal. Karena itulah maka niat shalat harus dikerjakan bersama dengan membaca Takbiratul Ihram.

Hal ini berdasarkan firman Allah SWT, “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya.” [Q.S Al-Bayyinah (98):5].

Dan berdasarkan sabda Rasulullah SAW, “Sesungguhnya segala amal perbuatan itu harus dengan niat, dan tiap-tiap manusia hanya mendapatkan sekedar apa yang diniatkannya.”[Hadits Jama’ah].

Sumber: “MUAMALAH [Diterbitkan oleh BPM Al-Aqobah II Komp. Perumahan PUSRI Sako Palembang]”


Entri Populer