Istighfar Adalah Pembuka Jalan
Ibnu Taimiyyah berkata, “Jika masalah yang saya hadapi mengalami kebuntuan, maka saya akan ber-istighfar kepada Allah sebanyak seribu kali (atau kurang lebihnya sebanyak angka itu) niscaya Allah akan membukakan jalan keluar.”
{Maka aku katakan kepada mereka: “Mohonlah ampun kepada Rabb-mu, sesungguhnya Dia Maha Pengampun.”} (QS. Nuh: 10)
Salah satu sebab ketenangan hati dan pikiran adalah ber-istighfar kepada Dzat Yang Memiliki Keagungan (Dzul Jalal).
Banyak yang dianggap berbahaya tetapi mendatangkan manfaat. Setiap qadha’ pada dasarnya baik, termasuk kemaksiatan yang dilakukan.
Dalam Al-Musnad karya Imam Ahmad, disebutkan: “Allah tidak memberlakukan sebuah qadha’ kepada hamba-Nya kecuali itu menjadi sebuah kebaikan baginya.”
Ketika ditanyakan kepada Ibnu Taimiyyah, “Sampai pun kemasiatan?”
Ibnu Taimiyyah menjawab, “Ya, jika maksiat itu dibarengi dengan taubat dan penyesalan, istighfar dan kesadaran.”
{Jika mereka menganiaya dirinya, mereka datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.} (QS. An-Nisa: 64)
Abu Tamam berkata tentang masa-masa bahagia dan sulitnya,
Tahun-tahun berlalu bersama kebahagiaan dan kemenangannya,
karena terlalu singkatnya tahun-tahun itu seperti hitungan hari.
Kemudian datang hari-hari susah
seakan-akan hari-hari itu tahun-tahun yang lama karena panjangnya
Kemudian masa-masa itu lenyap bersama dengan manusia,
masa-masa itu dan manusia-manusia itu tak ubahnya mimpi
{Dan, masa (kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran).} (QS. Ali’Imran: 140)
{Pada hari mereka melihat hari berbangkit itu, mereka merasa seakan-akan tidak tinggal (di dunia) melainkan (sebentar saja) di waktu sore atau pagi hari.}
(QS. An-Nazi’at: 46)
Saya kagum kepada orang-orang besar yang pernah dikenal dalam catatan sejarah. Ujian, cobaan, dan bencana mereka hadapi seperti kucuran air hujan atau hembusan angin. Dan, di barisan paling depan dari mereka adalah pemimpin semua makhluk, Muhammad Rasulullah. Dalam perjalanannya menuju Madinah, dia bersembunyi di dalam gua bersama sahabatnya, Abu Bakar. Pada saat musuh sudah mendekati mereka, ia berkata kepada temannya itu,
{Janganlah kamu bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita.} (QS. At-Taubah: 40)
Dalam perjalanan hijrahnya karena diusir dari kampung halamannya, ia memberi kabar gembira kepada Suraqah, yang membuntuti perjalanannya, bahwa dia akan memakai gelang Kisra.
Pada saat Perang Badar dia dengan semangat mengenakan baju perangnya dan berkata, {Golongan itu akan dikalahkan dan mereka akan mundur ke belakang.}
(QS. Al-Qamar: 45)
Pada saat Perang Uhud (setelah banyak sahabat yang terluka dan terbunuh) dia berkata kepada para sahabatnya, “Berbarislah kalian di belakangku, maka aku akan memuji Rabb-ku.”
Ini merupakan semangat tinggi kenabian yang menembus bintang-bintang di angkasa dan tekad seorang nabi yang mengguncangkan gunung-gunung.
Qais ibn ‘Ashim al-Manqari adalah orang Arab yang sangat penyabar. Suatu saat dia sedang duduk menceritakan sebuah kisah di depan kaumnya. Tiba-tiba datanglah seorang laki-laki tergopoh-gopoh mengatakan, “Anakmu baru saja terbunuh, dia dibunuh oleh anak si Fulanah!” Mendengar itu, dia tidak menggeser duduknya dan tidak menghentikan ceritanya hingga selesai. Setelah selesai, dia berkata, “Mandikan dan kafani jenazahnya! Setelah selesai panggil aku untuk menyalatkannya.”
{Dan, orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan.} (QS. Al-Baqarah: 177)
Pada saat sakaratul maut, kepada Ikrimah binti Abu Jahal ditawarkan air. Tapi jawabnya, “Berikan air itu kepada Fulan dan akhirnya diberikan kepada Harits ibn Hisyam. Selanjutnya, baik Ikrimah maupun Harits meninggal.
Jika dibunuh maka darah mereka akan bergolak oleh kemuliaan.
Dulu, salah satu jalan kematian mereka adalah terbunuh.
Sumber: “La Tahzan, Jangan Bersedih! (Karya Fenomenal DR.`Aidh al-Qarni) 2003, 210-212”